Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rofi Zaenal Arifin

Pemikiran Filsafat Ibnu Sina

Sinau | Friday, 29 Dec 2023, 20:28 WIB

Biografi Ibnu Sina dan Karyanya

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdulah Ibn Sina, seorang alhakim al-masyhur (filosof yang sangat terkenal), Ia dilahirkan di Persia pada bulan Syafar 370 H/980 M. Namun orang Turki, Persia dan Arab mengklaim Ibnu Sina sebagai bangsanya. sehingga ia di beri gelar al-Syeikh al-Ra’is. Hal ini dikarenakan ibunya berkebangsaan Turki, sedangkan ayahnya peranakan Arab. Ayahnya tinggal di kota Balkh, tetapi beberapa tahun setelah lahirnya Ibnu Sina, keluarganya pindah ke Bukhara karena ayahnya menjadi gubernur di suatu daerah di salah satu pemukiman Daulat Samaniyah pada masa pemerintahan Amir Nuh ibn Mansur.[1]

[1] Muhammad Tolhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006

Pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an, sastra dan bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu fi qh pada seorang guru bernama Ismail yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud. Di samping itu, ia belajar metematika dan ilmu ukur pada ‘Ali Abu ‘Abdullah an- Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai buku, termasuk buku Syarh sehingga menguasi ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur dan buku-buku tentang ilmu kedokteran.

Dalam usia 18 tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut. Dalam usia delapan belas tahun, ia telah menguasai filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti: matematika, astronomi, musik, mistik, bahasa dan ilmu hukum Islam.[1] Namanya semakin terkenal dalam ilmu kedokteran, terutama setelah ia mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Sultan Bukhara, dan sebagai imbalannya ia diberi hadiah perpustakaan pribadinya yang berisi buku-buku yang jarang diperoleh di perpustakaan lainnya. Namun, perpustakaan itu terbakar dan Ibn Sina mengalami nasib buruk. Ia dipenjara, karena dituduh sebagai pelakunya.[2]

Kesungguhannya yang luar biasa dalam mencari ilmu dan bekerja. Siangnya ia gunakan untuk mencari nafkah dan malamnya ia habiskan untuk bertafakur. Ia sering kali tampak dimasjid, berdoa, beribadah dan membaca. Diriwayatkan bahwa ia pernah membaca empat puluh kali buku metafisika karangan Aristoteles, tetapi tidak dipahaminya. Kebetulan ada pedagang buku yang menawarkan buku bekas kepadanya dengan harga sangat murah, lalu ia beli setelah menolaknya beberapa kali.

Alangkah gembiranya Ibn Sina setelah diketahui bahwa buku itu adalah karya al-Farabi. Lalu ia baca, sehingga dengan mudah ia memahami buku Aristoteles tersebut dan semuanya ia hafal. Karya Ibn Sina sangat banyak dan kelengkapan risalahnya jauh melampaui risalah manapun yang pernah dihasilkan pengarang-pengarang filsafat pertama seperti al-Kindi dan al-Razi. G. C. Anawati sorang sarjana Dominican, telah menyusun daftar kitab-kitab Ibn Sina dari 276 tulisan dalam bentuk buku maupun manuskrif.[3] Diantara buku-bukunya yang terkenal adalah:

1. Kitab Asy-Syifa. Kitab ini adalah tulisan yang terpenting tentang filsafat dan terdiri atas empat bagian, yaitu: mantik, matematika, fisika dan metafisika (ilahiyah).

2. Kitab al-Najat, atau Kitab Penyelamat adalah ringkasan kitab al-Syifa, karya ini jauh lebih banyak dibaca daripada al-Syifa, dan ditulis bagi orang-orang terpelajar yang ingin mengetahui dan memahami dengan lengkap dasar-dasar ilmu hikmah.

3. Kitab al-Qanun fi al-Thibb (Qanon of Medice), buku ini sangat tebal terdiri dari lima bagian (kitab). Telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya dan menjadi literatur pokok di Universitasuniversitas di Eropa sampai akhir abad ke-17 dan sampai kini menjadi manuskrif bidang kedokteran yang tersimpan rapi di perpustakaan Birmingham, Inggris bersama dengan Kitab-kitab lainnya terutama al-Syifa.

4. Kitab al-Isyarat wa al-tanbihat, adalah kitab terakhir yang ditulis Ibn Sina, hasil dari satu fase yang lebih independent dalam perkembangan intelektualnya. Dan buku yang paling indah dalam ilmu hikmah. Isinya mengandung berbagai mutiara dari berbagai ahli pikir dan rahasia yang sangat berharga yang sulit ditemui dari buku-buku lainnya. Antara lain uraiannya mengenai logika dan hikmah serta kehidupan dan pengalaman ruhani, dicetak di Leiden pada tahun 1892.[4]

Falsafah yang terbaik mengenai jiwa adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980-1037 M). Jiwa sebagai prinsip kehidupan, merupakan sebuah pancaran (emanasi) dari akal kecerdasan aktif. Definisi yang umum tentang jiwa adalah “Kesempurnaan yang pertama dalam tubuh organic”, baik ketika ia dibentuk tumbuh dan diberi makan (seperti dalam kasus jiwa hewani), atau ketika ia memahami hal-hal universal dan bertindak berdasarkan pertumbuhan yang mendalam (seperti kasus dalam jiwa insani). [1] Ibnu shina sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa ke dalam tiga bagian. Pertama, Jiwa nabati (ruh nabati), ia mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.

Kedua, jiwa binatang (ruh Haywani) yang mempunyai daya gerak pindah dari satu tempat ketempat yang lain dan daya menangkap dengan panca indra.Misal; pendengaran, penglihatan, perasa, peraba, juga indra yang ada diotak. Ketiga, Jiwa manusia (ruh Insani), mempunyai satu daya, yaitu berpikir yang disebut akal.Akal terbagi dua: Akal praktis (al-Aql al-Fa’al) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dari jiwa binatang. Akal teoritis (al-aql al-Nadhari) yang menangkap arti-arti murni yang tak ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan Malaikat.

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedangkan akal teoritis kepada alam metafisik. Akal teoritis ini terdiri dari, akal potensial (al-‘aqlu alhayulani), akal manusia dalam bentuknya yang belum diaktifkan. Akal aktual (al- ‘aqlu bbil-fi’li) akal aktif yang melalui pancaran yang diterimanya dari akal pendorong (al-‘aqlul-fa’al) diaktifkan menjadi pemikiran terhadap bentuk-bentuk dan objek-objek universal maupun konsep tertinggi51. Akal aktual lebih banyak menangkap arti-arti murni.[2] Akal aktual lebih banyak menangkap arti-arti murni. Akal perolehan (al-‘aqlu al-mustafad), akal tetap atau disebut juga al-aqlu bil-malakah, yaitu akal yang memiliki pemahaman terhadap bentuk universal, akal tertinggi dan telah sempurna kesanggupannya menangkap artiarti murni. Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki failosof. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui akal ke-10 ke bumi.

Karakter dan sifat seseorang banyak tergantung kepada jiwa mana yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa nabati dan hewani yang berpengaruh terhadap dirinya, maka ia menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa insani yang berpengaruh terhadap dirinya, ia menyerupai malaikat. Dapat kita ketahui, dalam dunia ini (alam tubuh spiritual), manusia bisa menjadi malaikat, syaitan, binatangbinatang yang makan sesama binatang. Jika pengetahuan dan rasa hormat lebih mendominasinya, ia akan menjadi malaikat.

Jika kemunafikan, kelicikan dan kebodohan yang berlipat ganda (ia sendiri tidak sadar akan kebodohan yang sebenarnya) lebih mendominasinya, maka ia akan menjadi syaitan. Jika ia dikuasai oleh efek-efek nafsu indrawiyah, ia akan menjadi binatang. Dan jika ia ditaklukan oleh efekefek amarah dan keagresifan, ia akan menjadi binatang yang memakan binatang yang lain. Sebab anjing menjadi anjing karena bentuk kebinatangannya bukan karena materi tubuhnya.[3]

Imam ash-Shadiq (ra) berkata: “Manusia akan dibangkitkan sesuai dengan bentuk-bentuk amalnya”. Atau “sesuai dengan bentuk-bentuk niatnya”. Versi lain berkata: “Beberapa manusia akan dihidupkan kembali sesuai dengan perilaku mereka, seperti laba-laba pengisap darah manusia”. Inilah bagaimana seseorang bisa menafsirkan kata-kata Plato, Pythagoras dan orang-orang zaman dulu yang bahasanya memberi gambaran simbolis dan mempunyai hikmah yang diambil dari miskat kenabian para Nabi (‘alaihimusalam).

Jiwa merupakan gerbang terbesar kepada Tuhan, yang dengan melewatinya seseorang dapat dibawa ke kerajaan tertinggi, namun jiwa juga mempunyai suatu bagian tertentu dari seluruh gerbanggerbang neraka. Jiwa merupakan pembagi yang berada diantara dunia ini dan dunia lain. Karena ia merupakan bentuk dari tiap potensi dalam dunia ini dan materi dari setiap bentuk dunia lain. Maka jiwa merupakan pertemuan antara dua lautan. Yakni lautan jasmaniah dan ruhaniah.

Kenyataan bahwa ia adalah akhir dari realitas jasmaniyah merupakan tanda kenyataan bahwa ia adalah awal dari realitas ruhaniyah. Substansinya di dunia ini merupakan prinsip dari seluruh daya (kekuatan-kekuatan) tubuh, yakni seluruh bentuk-bentuk kebinatangan, ketumbuhan dalam aktifitas jiwa. Sedangkan substansinya dalam dunia intelek pada mulanya adalah “potensi murni” tanpa bentuk apapun di dunia tersebut; namun mempunyai kemampuan untuk bergerak dari potensi keaktualitas (al-‘aqlu bi al-fi’li) awalnya dengan dunia intelek adalah seperti benih dengan buahnya atau seperti embrio suatu binatang dengan binatang itu sendiri. Yakni bahwa suatu embrio secara aktual adalah sebuah embrio, dan suatu binatang hanya secara potensial, maka (pada mulanya) jiwa dalam aktualitas tidak lebih dari manusia biasa.[4]

[1] M. Said Syaikh, Op. Cit, 93.

[2] Harun Nasution, dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta : Paramadina, cet. Ke-1, 1994).

[3] Mulla Shadra, Kearifan Puncak, judul Asli Hikmah al-Arsyiah, penerj. Dimitri Mahayana, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. ke-1, 2001)

[4] Mulla Shadra, Kearifan Puncak, judul Asli Hikmah al-Arsyiah, penerj. Dimitri Mahayana, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. ke-1, 2001)

[1] Ahmad Fuad al- Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)

[2] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam,(Jakarta : Bulan Bintang, cet. Ke-3, 1992),

[3] Anawati, Essai de Bibliographie Avicenniene, dalam buku Majid Fakhri,

[4] Ahmad Daudi, Op cit,69.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image